Bagian II. Periode Setelah Kemerdekaan – Pindah ke Kentungan (1948-1968)

 

1. Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ (1948-1949)

Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ menjabat sebagai rektor Seminari Tinggi yang keempat pada tahun 1948-1949. Saat itu, beliau merangkap sebagai rektor Kolese Ignatius dan menjadi dosen Moral. Tahun 1948-1949, situasi Indonesia diwarnai dengan bergulirnya Revolusi Kemerdekaan. Efek dari revolusi ini adalah banyaknya romo-romo misionaris dari Belanda yang diinternir, sehingga pembinaan para frater sedikit terbengkelai. Sewaktu Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi, para seminarisnya masih sedikit, terbatas pada Vikariat Semarang. Hanya ada beberapa orang saja yang berasal dari luar Semarang. Selain itu, situasi politik Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945 yang gencar dengan revolusinya membuat segenap rakyat hidup dalam keprihatinan, termasuk juga Seminari Tinggi. Untuk itu, saat itu, para staf Seminari Tinggi harus dapat mengatur pengeluaran sehari-hari dengan amat bijaksana agar dapat mencukupi kebutuhan hidup.

Dalam hal pembinaan para frater, pada tahun 1948-1949, Seminari Tinggi sudah menerapkan aturan-aturan ketat yang mesti ditaati oleh para frater. Mgr. Djajasepoetra, SJ mengungkapkan bahwa acara harian harus selalu dilihat dalam kerangka pembentukan spiritualitas. Beliau juga menekankan bahwa Seminari Tinggi itu adalah suatu lingkungan pendidikan, bukan hanya tempat mondok. Oleh karena itu, seluruh ritme hidup dan perkembangan seminaris harus terbina di Seminari Tinggi, khususnya, mengenai pembinaan spiritualitas.

Dalam Buku Kenangan 40 tahun Seminari Tinggi St. Paulus, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ berpesan bahwa untuk menuju cita-cita imamat diperlukan keteguhan hati. Beliau menambahkan bahwa sejak masuk Seminari, para frater hendaknya memahami siapa dan apa peran imam itu. Imam adalah pembantu uskup. Maka hidup para imam itu harus menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembantu uskup. Imam hendaknya memiliki keteguhan hati dalam melayani umat yang didasari oleh kematangan spiritualitas (kerohanian) dan ketaatan penuh kasih kepada uskupnya.

 

2. Rm. Dr. H. Ruding, SJ (1949-1958)
Rm. Ruding SJ adalah rektor kelima Seminari Tinggi St. Paulus. Sebagai rektor, Rm. Ruding, SJ memiliki visi tentang pembinaan calon imam yang sungguh-sungguh baru. Dalam hal evangelisasi di masyarakat Jawa ini, Rm. Ruding, SJ berpendapat bahwa seorang misionaris mempunyai tujuan membina iman kristiani yang bersifat Jawa. Maka, ia harus mempunyai mata terbuka untuk perbedaan antara isi agama kristiani yang esensial dan universal, dan dari pihak lain, bentuknya yang aksidentil dan bersifat barat. Saat itu, Rm. Ruding, SJ telah menggulirkan pandangan tentang adaptasi dan inkulturasi dalam hal pewartaan iman. Oleh karena itu, dalam pembinaan calon imam pun mulai disadari bahwa tugas para imam adalah membangun Gereja yang berwajah pribumi.

Kesadaran ini telah membawa suasana baru dalam pembinaan calon imam. Pembinaan calon imam lebih diarahkan sebagai pendidikan para imam yang nantinya dapat membangun jemaat khas Indonesia yang benar-benar mandiri. Usaha ini bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu, diperlukan sebuah pendidikan yang akhirnya akan membuahkan sosok imam pribumi yang benar-benar mempunyai kerohanian mendalam dan kemampuan pastoral yang handal. Sebagai langkah awal, visi pendidikan Seminari Tinggi setelah dipimpin oleh Rm. Ruding, SJ adalah penekanannya pada pembentukan pribadi para frater agar memiliki kontak pribadi dengan Yesus dalam doa dan karya. Dan itulah dasar dari pembinaan selanjutnya dalam rangka menuju visi baru demi hidupnya Gereja yang berwajah pribumi. Rm. Ruding, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi dari tahun 1949-1958. Beliau digantikan oleh Rm. L. Suasso de Lima de Prado, SJ setelah beliau dinyatakan hilang saat naik gunung Sumbing. Sampai akhir hayatnya, Rm. Ruding, SJ menampakkan semangat berjuang yang penuh semangat demi Gereja Jawa yang mandiri.

 

3. Rm. L. Suasso de Lima de Prado, SJ (1958-1962)

Tahun 1955, Rm. Suasso, SJ ditugaskan menjadi staf Seminari Tinggi St. Paulus di Jl. Code. Rektor pada waktu itu adalah Rm. Ruding, SJ. Pada tahun 1958, ketika sedang mengadakan pendakian di gunung Sumbing, Rm. Ruding, SJ hilang (jenazah baru diketemukan satu tahun sesudahnya). Karena peristiwa tersebut, Rm. Suasso, SJ diminta untuk menggantikan Rm. Ruding, SJ menjadi rektor Seminari Tinggi. Pada waktu Rm. Suasso, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi, kedisiplinan sangat ditekankan dan dilaksanakan dengan ketat. Pendidikan Seminari menekankan segi intern dan tertutup. Ini tampak dalam jadwal harian yang ketat. Bagi Rm. Suasso, SJ, TOP (Tahun Orientasi Pastoral) merupakan waktu yang tepat untuk mengambil keputusan. Tidak ada frater yang masuk Teologi dengan keraguan akan panggilannya. Saat itu, bahasa menjadi kesulitan yang utama dalam hidup bersama karena para frater berasal dari berbagai suku. Akhirnya disepakati bahwa bahasa yang dipakai adalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi.

Menurut beliau, yang paling penting dalam menjalani pendidikan di Seminari Tinggi adalah keterbukaan untuk dibimbing Roh Tuhan, juga dalam melaksanakan peraturan-peraturan. Secara lebih lanjut, beliau juga mengungkapkan bahwa untuk menghadapi tantangan zaman, para frater dituntut untuk dapat mengintegrasikan kegiatan dan hidup harian dengan gagasan-gagasan teologi yang diperoleh dalam studi. Selain itu, beliau juga menekankan perlunya kerjasama dengan awam supaya dapat bergaul dengan masyarakat, misalnya, melalui kegiatan sosial atau kegiatan-kegiatan di paroki dan baik juga bila selama studi dibina kontak dengan pastor paroki dan umat lain. Akhirnya beliau menegaskan bahwa dalam semuanya, terlebih dalam hidup rohani, keterbukaan hati adalah suatu yang sangat penting dalam masa pendidikan sebagai calon imam.

Berikut ini wajah Seminari Tinggi St. Paulus tahun 1960-an:

 

4. Rm. Leo Soekoto, SJ (1962-1966)

Saat Rm. Leo Soekoto, SJ menjabat sebagai rektor Seminari Tinggi, staf lain yang tinggal di Seminari Tinggi adalah Rm. Busch, SJ, Rm. Sumandar, SJ, dan Rm. Dick Hartoko, SJ. Saat itu, suasana umum formatio calon imam adalah pembinaan yang bernafaskan semangat Roma-sentris dan pra-Konsili Vatikan II. Kedisiplinan dan keteraturan hidup amat ditekankan. Ini ditunjukkan dengan adanya aturan-aturan yang harus ditaati secara ketat, misalnya: kewajiban memakai jubah setiap hari kemanapun frater pergi (kecuali saat olah raga, mandi, mencuci, dan tidur), kewajiban dua kali seminggu mengadakan ambulatio (jalan-jalan) berdua-dua seperti murid-murid yang diutus oleh Yesus, membaca surat kabar hanya boleh satu kali seminggu, dan pembatasan kesempatan untuk mendengarkan radio dan menonton TV. Dalam hal hidup komunitas pun, suasana pra-Konsili Vatikan II ini amat tampak, misalnya: membatasi pergaulan para frater dengan dunia luar serta pembedaan ruang makan antara para frater dan para romo, yang tentu saja dengan menu yang berbeda pula.

Suasana pra-Vatikan II yang menekankan Roma-sentris juga terasa dalam hal perkuliahan. Menurut kesaksian Rm. T. Adi Wardoyo, Pr, saat itu kuliah dilakukan dengan bahasa Latin. Kuliah Filsafat dan Teologi secara penuh menggunakan bahasa Latin sehingga para frater harus bekerja ekstra keras dalam studinya agar sungguh dapat memahami inti perkuliahan. Jadi amat tampaklah suasana Roma-sentris pada pembinaan calon imam saat itu. Meskipun demikian, banyak hal positif yang dapat dipetik dari periode pembinaan para calon imam tersebut. Salah satunya adalah kedekatan relasi antar frater. Karena saat itu jumlah frater Seminari Tinggi masih sedikit, maka relasi diantaranya dapat terjalin akrab. Selain itu, suasana pembinaan pra-Konsili Vatikan II telah menghasilkan buahnya dengan hadirnya imam-imam diosesan yang berkarakter, seorang pekerja keras, memiliki charitas pastoralis, berjiwa pemimpin, dan seorang utusan yang taat setia, sebagaimana kita temukan dalam pribadi-pribadi berikut ini: Rm. Mangunwijaya, Rm. Darmawijaya, Mgr. Hadiwikarta, Mgr. Djajasiswaya, Mgr. Kartasiswaya, dan Rm. Purwawidyana.

 

5. Rm. Tarcisius Wignyasupadma, SJ (1966-1974)
Berdasarkan dari kesaksian Rm. St. Darmawijaya, Pr, Rm. T. Wignyasupadma, SJ ini menjabat rektor Seminari Tinggi di masa terjadi perpindahan lokasi Seminari Tinggi dari Jl. Code 2 ke Kentungan. Pada waktu itu, Seminari dihuni juga oleh calon imam diosesan dari keuskupan lain: Bandung, Denpasar, Ende, Larantuka, Makassar, Malang, Purwokerto, Surabaya, dan Sintang. Bahkan saat itu juga, Seminari Tinggi menampung sejumlah calon imam dari kongregasi CSSR. Hal ini amat menampakkan bahwa Seminari Tinggi memfokuskan diri pada pembangunan Gereja lokal. Secara khusus, Seminari Tinggi St. Paulus ini turut mengembangkan pembangunan Gereja Katolik di Indonesia.

Saat itu, pendidikan calon imam amat membuka diri bagi perkembangan yang mungkin dalam Gereja. Hal ini dilatarbelakangi oleh semangat Konsili Vatikan II yang telah digulirkan. Arah pembinaan calon imam ditujukan untuk melayani Gereja setempat dan khususnya diarahkan pada para petugasnya di paroki. Dalam arti itu, kemampuan masing-masing calon imam perlu dikembangkan sesuai dengan pelayanan mereka dalam Gereja setempat tersebut. Hal ini juga diperjuangkan oleh staf Seminari Tinggi saat itu.

 

“Seminari Tinggi itu adalah suatu lingkungan pendidikan, bukan hanya tempat mondok. Oleh karena itu, seluruh ritme hidup dan perkembangan seminaris harus terbina di Seminari Tinggi, khususnya, mengenai pembinaan spiritualitas”.

“Suasana pembinaan pra-Konsili Vatikan II telah menghasilkan buahnya dengan hadirnya imam-imam diosesan yang berkarakter, seorang pekerja keras, memiliki charitas pastoralis, berjiwa pemimpin, dan seorang utusan yang taat setia”

“Keterbukaan hati adalah suatu yang sangat penting dalam masa pendidikan sebagai calon imam. Maka untuk menghadapi tantangan zaman, para frater dituntut untuk dapat mengintegrasikan kegiatan dan hidup harian dengan gagasan-gagasan teologi yang diperoleh dalam studi”