|

Search
Close this search box.

Bagian III: Periode Post-Pindah ke Kentungan (1968-sekarang)

 

1. Rm. Gerardus Scheltinga, SJ (1974-1976)
Rm. G. Scheltinga, SJ adalah pejabat rektor karena sejak 1969 beliau menjabat sebagai minister rumah atau kepala rumah tangga Seminari Tinggi. Di akhir masa rektorat, Rm. Wignyasupadma, SJ seringkali sakit sehingga tugas-tugas rektor kerap diambil alih oleh Romo Minister. Hingga akhirnya Rm. Wignya dibebastugaskan dari jabatan rektor pada tahun 1973, Seminari Tinggi harus menunggu 1 tahun untuk mendapatkan rektor baru. Pada masa ini, praktis seluruh gerak dinamika kehidupan Seminari Tinggi tetap berjalan sebagaimana sudah dirintis oleh Rm. Wignyasupadma, SJ. Hal yang menarik saat itu, menurut kesaksian Romo Darma adalah jumlah frater yang semakin bertambah karena frater-frater dari Makassar, Sumba, CSSR, Surabaya, dan OMI juga tinggal di Seminari Tinggi. Pembicaraan staf Seminari yang menarik pada saat itu ialah bagaimana Seminari Tinggi harus memikirkan pendampingan dari staf terhadap para frater mengingat jumlah frater yang semakin banyak dan juga mengenai keterbatasan tempat (gedung).

Berikut ini dokumentasi suasana ruang makan Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan waktu itu:

 

2.Rm. Chrysantus Prawirasuprapto, SJ (1976-1979)
Rm. Prawirasuprapto, SJ menjabat rektor Seminari Tinggi setelah menjadi pembina para novis Yesuit. Dalam ingatan Romo Darma, ada dua hal yang menjadi sumbangan Rm. Prawirasuprapto, SJ dalam pembinaan para calon imam diosesan. Pertama, usaha beliau dalam merumuskan garis besar kehidupan Seminari Tinggi sebagai wacana atau rumah pembinaan bagi para calon imam. Semangat ini beliau kembangkan berdasarkan pada charitas pastoralis. Menurut beliau, charitas pastoralis (kasih pastoral) ini amat diperlukan sebagai dasar hidup calon imam yang diharapkan dapat melayani umat Allah dengan murah hati dan total. Kasih pastoral ini lalu menantang para calon imam itu untuk mengembangkan hidup rohani yang mendalam, hidup pribadi yang matang, kehidupan intelektual yang bertanggung jawab, dan minat pastoral yang besar demi pengembangan umat.

Kedua, usaha beliau untuk mendampingi para calon imam secara lebih intensif dengan membentuk perwalian tingkat. Wali tingkat ini mempunyai peran yang berbeda dengan para pembimbing rohani. Dengan ini pula, sebagian tanggung jawab rektor diberikan kepada para wali tingkat dan pembina rohani. Selain itu, pada zaman ini, dipikirkan juga bagaimana mendampingi para calon imam secara lebih intensif dengan mengurangi jumlah calon imam yang tinggal di Seminari Tinggi. Maka, disarankan untuk para calon imam diosesan Malang dan Surabaya agar belajar Filsafat Teologi di Malang, sementara calon imam dari diosesan Makassar mulai membangun Seminari (Wisma) sendiri yang disebut sebagai Seminari Tinggi Anging Mammiri. Warna Seminari Tinggi semakin diarahkan pada pembinaan calon imam diosesan.

 

3. Rm. Theodorus Prajitno, SJ (1980-1986)
Rm. Theodorus Prajitno, SJ ditugaskan untuk mengganti Rm. Prawirasuprapto, SJ sebagai rektor Seminari Tinggi yang di masa akhir rektorat beliau sering jatuh sakit. Rm. Theodorus Prajitno, SJ ini memiliki keahlian dalam bidang pastoral. Ini tampak dalam keaktifan beliau dalam mendampingi kelompok ME (Marriage Encounter) disamping tugas utama beliau sebagai rektor Seminari Tinggi. Dalam hal ini, tampak sekali usaha beliau dalam melibatkan kaum awam bagi pembinaan calon imam di Seminari Tinggi. Selain itu, muncul pemahaman baru tentang pastoral imam yakni tidak hanya dibatasi pada pelayanan parokial tetapi juga membuka perhatiannya pada pelayanan kategorial. Dengan melibatkan kaum awam dalam pembinaan para calon imam diosesan dan membuka pada pelayanan kategorial, suasana pembinaan calon imam pada masa ini telah membuka wacana tentang pembinaan calon imam diosesan yang peka zaman. Hal ini berarti bahwa pembinaan calon imam tidak lepas dari realitas zaman yang akan menjadi medan pastoral dan pelayanan para imam tersebut.

Konteks peristiwa saat itu diwarnai dengan dibukanya Tahun Orientasi Rohani Wisma Sanjaya Jangli tahun 1981. Pada tahun itu juga, Rm. Justinus Kardinal Darmoyuwono mengundurkan diri sebagai Uskup Agung Semarang. Untuk pejabat uskup ditetapkan Romo Alexander Jayasiswaya. Setahun kemudian, Keuskupan Agung Semarang mendapatkan uskup baru yakni Mgr. Yulius Darmaatmadja, SJ. Mulai saat itulah bergulir pemikiran di antara para staf tentang pembinaan calon imam yang kontekstual dengan Keuskupan. Lalu, pemikiran ini membuka wacana bahwa bukan hanya paroki yang harus dilayani oleh para imam diosesan, melainkan juga pelbagai bidang seperti: bidang sosial, kateketik, liturgi, pembinaan kaum muda dan keluarga, serta pelbagai lembaga sosial masyarakat lainnya.

Selain itu, menurut Romo Theo (begitu biasanya beliau dipanggil) prinsip yang harus dipegang oleh seorang pemimpin adalah keterbukaan dan kejujuran. Dua hal ini diharapkan dapat menumbuhkan intimitas persaudaraan yang tulus. Dengan demikian, para calon imam diajak untuk terus menerus mau belajar, baik melalui jalur akademis maupun melalui perjumpaan dengan umat. Lebih lanjut, para calon imam ini diajak untuk selalu berefleksi dalam mengembangkan diri dan dalam pengalaman hidup rohani pribadi.

 

4. Rm. Julianus Sunarka, SJ (1986-1990)

Pembinaan calon imam diosesan yang mulai terbuka pada pastoral kategorial semakin terasa ketika Rm. J. Sunarka, SJ menggantikan Rm. Theodorus Prajitno, SJ. Hal ini tampak dalam kesadaran bahwa dalam pelayanan pastoral paroki pun mengandung unsur-unsur tersebut (pelayanan kategorial). Nuansa ini amat terasa karena didorong oleh uskup baru yang menghendaki kehidupan Gereja lebih memasyarakat. Unsur-unsur sosial kemasyarakatan dalam kehidupan jemaat mestinya juga menjadi pertimbangan dalam mengembangkan kehidupan rohani, pribadi, intelektual, dan pastoral.

Pada masa Rm. J. Sunarka, SJ menjabat rektor, Seminari Tinggi masih dihuni oleh pelbagai calon imam dari berbagai keuskupan, diantaranya adalah: Keuskupan Agung Jakarta, Medan, Palembang, Padang, Pangkalpinang, dan Purwokerto. Selain itu, suster-suster Abdi Kristus mulai terlibat dalam pembinaan para calon imam di Seminari Tinggi. Meskipun pelayanan suster-suster itu terbatas pada rumah tangga dan tata boga, tetapi kehadiran suster-suster itu turut memberi suasana baru bagi kehidupan Seminari Tinggi. Di kalangan staf sendiri, Rm. Sunarka adalah seorang komunikator yang baik. Kerjasama antar staf terjalin baik dengan rapat-rapat yang teratur, terencana, dan terarah sehingga ada waktu untuk saling berwawan hati demi kepentingan pengembangan pembinaan para calon imam.

Secara khusus, Rm. Sunarka menekankan perlunya visi imamat dan keterbukaan dalam pembinaan calon imam. Maka, setiap rektor kiranya perlu meniti sejauh mana olah holistik yang menyangkut matra-matra tersebut dicermati oleh si formandi. Sedangkan dari sisi formandi, keterbukaan dan kejujuran dari formandi amat ditekankan dalam rangka membentuk visi imamat ini.

 

5. Rm. Yohanes Chrisostomus Purwawidyana, Pr (1990-1997)
Sebagai rektor, Rm. Purwawidyana tetap mempertahankan keanekaragaman para pembina di Seminari Tinggi. Keterlibatan para romo, bruder Yesuit, suster-suster Abdi Kristus, dan romo diosesan terjalin semakin erat dan seimbang demi pembinaan calon imam yang semakin berkualitas. Suasana yang amat terasa selama Rm. Purwa menjabat sebagai rektor adalah suasana intelektual. Ini tampak dari tuntutan diselesaikannya skripsi sebagai syarat menerima tahbisan diakonat dan imamat. Syarat ini tidak hanya ingin menekankan pembinaan intelektual saja tetapi juga merupakan pembinaan kepribadian para calon imam di zaman baru. Disadari betul bahwa zaman ini memerlukan rohaniwan yang benar-benar memiliki semangat belajar yang tinggi dan intelektual yang bertanggung jawab. Semangat pembinaan calon imam dengan nuansa intelektual ini hendak menjawab tantangan nyata bagaimana seorang rohaniwan yang cendekiawan itu menjadi pewarta di tengah dunia yang tunggang langgang (runaway world).

Pada masa rektorat Rm. Purwawidyana ini, dibangun Wisma Petrus yang pertama-tama digunakan oleh para imam yang sudah purna karya. Wisma ini diresmikan pada tanggal 2 Juli 1991 tepat pada pesta perak imamat romo rektor ini. Kini, Wisma Petrus digunakan oleh romo-romo diosesan Keuskupan Agung Semarang dan Purwokerto yang mendapat tugas studi lanjut di universitas di Yogyakarta.

 

6. Rm. Yohanes Pujasumarta, Pr (1997-1998)

Pada tahun 1997, Rm. Purwawidyana, Pr menyelesaikan tugasnya sebagai rektor Seminari Tinggi dan digantikan oleh Rm. Y. Pujasumarta, Pr. Sebelum menjabat sebagai rektor, Romo Puja ini adalah rektor Tahun Orientasi Rohani para frater diosesan Keuskupan Agung Semarang di Wisma Sanjaya Jangli, Semarang. Pada waktu beliau diangkat sebagai rektor Seminari Tinggi, Keuskupan Agung Semarang baru mendapatkan uskup baru, setelah Mgr. Yulius Darmaatmadja dipindahtugaskan menjadi uskup Keuskupan Agung Jakarta, yakni Mgr. Ignatius Suharyo, Pr yang sebelumnya selama 14 tahun menjadi anggota staf Seminari Tinggi dan dosen Tafsir Kitab Suci.

Sejak awal masa rektoratnya, Rm. Pujasumarta menyadari pentingnya membangun mutu kepribadian para calon imam yang kelak akan menjadi gembala para umat. Salah satu hal yang dikembangkan untuk memupuk kepribadian tersebut adalah membangun kehidupan yang didasarkan atas persaudaraan yang sejati, tulus, dan ikhlas. Sebagai langkah awal, Rm. Puja mengajak anggota staf mencermati kembali bagaimana arah dan kebijakan pembinaan calon imam ini dapat dikembangkan. Lalu, Rm. Puja mengajak segenap warga Seminari untuk meneladan semangat St. Paulus pelindung Seminari Tinggi ini. Semangat itu dirumuskan sebagai visi dan misi pembinaan Seminari Tinggi selanjutnya.
Rm. Pujasumarta menjabat rektor hanya selama satu tahun karena beliau diangkat menjadi Vikaris Jendral Keuskupan Agung Semarang. Meski begitu singkat, secara visioner, beliau memberikan arah yang kuat bagi masa depan pengembangan hidup calon imam. Calon imam diharapkan menjadi pelayan jemaat yang handal dan tangguh, baik secara rohani, pribadi, intelektual, dan pastoral.

 

7. Mgr. Valentinus Kartasiswaya, Pr (1998-2004)

Setelah Rm. Pujasumarta diangkat menjadi Vikjen Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Valentinus Kartasiswaya, Pr diangkat menjadi rektor Seminari Tinggi pada tahun 1998. Sebelumnya, selama 13 tahun beliau bertugas menjadi sekretaris eksekutif KWI. Setelah masa tugas beliau di KWI selesai, maka Romo Karta bersedia menjadi rektor Seminari Tinggi. Pada masa rektorat Mgr. Karta ini, suasana pembinaan calon imam masih melanjutkan visi misi sebelumnya. Meskipun demikian, visi misi itu semakin jelas terumuskan dalam ‘Visi Misi Pendidikan dan Garis Besar Tata Hidup Bersama’ setelah peringatan Tumbuk Ageng Seminari Tinggi tahun 2000. Dalam visi misi pendidikan itu mulai tampak suatu gambaran cita-cita imamat yang dapat menjawab kenyataan zaman. Secara lebih khusus, pendidikan para calon imam ini ditempatkan dalam kerangka pembangunan dan pengembangan Gereja di Keuskupan Agung Semarang dan Indonesia. Sebagai point-point pendampingan, para calon imam itu diharapkan dapat melatih diri terus menerus untuk menjadi diri dengan kepribadian yang dewasa, kerohanian yang mendalam, intelektualitas yang bertanggung jawab, serta kemampuan pastoral yang handal.

Mgr. Kartasiswaya menjabat rektor Seminari Tinggi selama 6 tahun (1998-2004). Dalam rentang waktu itu, ada beberapa hal yang perlu dicatat. Pada masa dipimpin oleh Mgr. Kartasiswaya dibangunlah Wisma Vianney bagi para romo yang meneruskan studi Licensiat di Fakultas Teologi Wedabhakti. Wisma Vianney selesai dibangun pada bulan Agustus 1999.

Selain itu, menurut Mgr. Karta, imam yang dibutuhkan pada masa kini dan masa yang akan datang adalah imam yang commited terhadap panggilannya. “Commited” berarti mau dengan rela menyerahkan diri kepada Allah yang memanggilnya karena tergerak akan cinta. Selain commited terhadap panggilannya, seorang romo hendaknya memiliki kemampuan dan semangat intelektual yang memadai. Ia hendaknya memiliki semangat belajar, yaitu memiliki keinginan untuk berkembang dan diperkembangkan. Pada masa rektorat beliau, semangat commited dan mau untuk belajar terus-menerus sungguh diungkapkan dalam kebijakan-kebijakan beliau demi pembinaan calon imam yang peka zaman.

 

8. Rm. Florentinus Hartosubono, Pr (2004- 1 Des 2010)

Pada tahun 2004, Mgr. Kartasiswaya, Pr dipindah tugaskan menjadi romo pembantu paroki di paroki Kidul Loji dan digantikan oleh Rm. Fl. Hartosubono, Pr. Romo Bono sebelum menjabat sebagai rektor Seminari Tinggi adalah romo rektor Tahun Orientasi Rohani Wisma Sanjaya Semarang. Pada masa awal rektoratnya, Romo Bono menghadapi beberapa perubahan tahap pendampingan para frater. Perubahan itu adalah diterapkannya kembali proses TOP (Tahun Orientasi Pastoral) setelah para frater memperoleh S-1 Filsafat Teologi. Program ini diterapkan bagi para frater yang masuk ke Seminari Tinggi Kentungan mulai tahun 2002. Problem yang dihadapi beliau dan para staf adalah tentang tempat para frater yang terbatas karena adanya perubahan tahap pembinaan tersebut. Praktis tahun perkuliahan 2005/2006 tidak ada TOP dan para frater yang tinggal di Seminari Tinggi semakin banyak (Tingkat I, II, III, IVA [yang seharusnya TOP], IVB, V, dan tingkat VI). Lalu, pada awal tahun perkuliahan, muncul kebijakan bahwa para frater tingkat V untuk sementara meminjam Wisma OMI di Blotan sebagai rumah pembinaan selama 1 tahun.

Dalam proses pembinaan calon imam, Romo Bono masih melanjutkan fokus pembinaan yang telah berjalan. Di samping itu, mulai ditekankan pula semangat untuk terlibat secara penuh dengan gerak keuskupan. Dalam rangka terlibat penuh pada gerak keuskupan itu, Seminari Tinggi menjadikan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang (Ardas KAS) sebagai salah satu visi yang selalu mendapat tekanan dalam pendidikannya. Untuk mewujudkannya, diperlukan pembinaan yang mengarahkan para calon imam untuk memiliki semangat taat asas, berkompeten (profesional), dan selalu terbuka terhadap on going formation imam-imam diosesan.

 

9. Rm. Josep Kristanto, Pr (1 Des 2010 – 31 Juli 2017)
Masuk Seminari Tinggi, situasi kotor setelah erupsi G. Merapi (Oktober 2010) dan kompleks ST dipakai untuk mengungsi sekitar 1000 orang. Debu gunung dan bekas-bekas pengungsian membuat rumah kotor, kelelahan, dan “godaan” para relawan. Situasi ST sepertinya tanpa aturan, terlebih waktu keluar. Setiap saat frater bisa keluar dan tanpa izin, pada hal mulai 1 Desember 2010, ada Satpam 24 jam.

Pada awal, rektor mengajak calon imam untuk sadar, peka, dan tanggungjawab pada panggilannya. Learning – Habit – Believe – Mission menjadi ajakan kepada para frater. Bila selama tujuh tahun di ST para frater tidak mempunyai habit (kebiasaan) yang baik, saat jadi imam nanti, mereka juga akan melanjutkan kebiasaan selama di ST itu. Pendampingan tidak bisa “diandaikan” berjalan begitu saja tanpa kontrol. Ajakan menulis refleksi dan dibaca oleh rektor setiap minggu mengajak frater untuk serius mengolah bidang rohani. Pembukaan kapel Adorasi lima jam setiap hari (16:00-21:00), 18 Agustus 2011, mengajak agar para frater sungguh merasakan keheningan dalam diri, sehingga dimensi rohani/spiritual tetap menjadi ajang latihan sampai menjadi habit.

Pendampingan ini didukung dengan pembenahan dan pembuatan serta penyimpanan DATA penilaian pribadi para frater dalam format enam bidang (manusiawi, rohani, intelektual, pastoral, hidup bersama, dan kesehatan). Menjadi imam perlu kepekaan. Untuk itu para frater juga diajak untuk “peka” terhadap lingkungan: teman (yang sakit, tidak bisa bangun awal, tidak kuliah, dsb.), rumah/bangunan, dan fasilitas yang ada di ST. Sikap kepekaan dan handarbeni perlu dikembangkan agar nanti pastoran-pastoran atau aset Gereja terawat dengan baik. Mutu pribadi lewat program-program pendampingan didukung dengan pembersihan lingkungan, pengecatan kamar para frater dan staff, renovasi dapur, ruang cuci, kamar mandi frater dan staff, renovasi dua kamar frater menjadi kamar staf di tiga unit, penataan perpustakaan, penambahan dua sumur, serta garasi mobil. Renovasi ST dibarengi oleh renovasi FTW. Aula ST dibongkar dan dibangun tiga lantai untuk kuliah (2014-2017).

Situasi komunitas yang serba ada dan dilayani membuat para frater kurang tantangan. Untuk itulah para frater diajak untuk berani keluar dari “zona nyaman”. Beberapa bentuk pendampingan yang diberikan adalah seminar-seminar dengan tema zaman, belajar berkebun di KPTT, TOP di Papua, studi banding ke ST Pemantangsiantar, Sekolahan Gulaku Lampung, Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI Batu-Malang), Focolare (Filipina), ikut para motivator dalam pendampingan rekoleksi dan retret, mengumpulkan dan mendampingi anak-anak katolik di sekolah-sekolah negri (SMA), perutusan kerja dengan pak Suryoto atau ke BKSY, mendahulukan pendampingan di sekolah-sekolah (Kanisius) yang minus. Sapaan-sapaan pribadi dari para staff ST sangat diharapkan dan sungguh berbuah bagi perkembangan pribadi para frater. Yang terakhir ini masih menjadi harapan.

 

10. Rm. Matheus Djoko Setya Prakosa, Pr (1 Agustus 2017 –1 Januari 2022)

Awal masa ke-rektor-atannya, ditandai dengan penegasan untuk meneruskan hal-hal baik yang sudah diupayakan para pendahulunya. Ia tidak mengubah kebijakan pendahulu. Hidup disiplin dalam segala aspek yang telah diperjuangkan rektor sebelumnya tetap mendapat tekanan penting. Rektor ke18 ini menegaskan bahwa hidup seorang murid (discipulus) seharusnya ditandai dengan semangat gembira, rendah hati dan tulus. Itulah sebabnya muncul motto: be happy, be humble dan be gentle. Dengan semangat ini empat pilar pokok dalam formatio yaitu pengolahan hidup rohani dan motivasi, pengolahan pribadi, hidup studi, dan hidup pastoral (plus hidup bersama) diharapkan dapat menjadi tiyang kekuatan dan kesempatan menumbuhkan panggilan para frater dengan penuh kemerdekaan dan kegembiraan batin. Dengan motto di atas ada harapan bahwa Visi seminari yang tertuang dalam Pedoman Pembinaan Calon Imam Diosesan (PPCID) pun dapat menjadi tuntunan gerak maju hidup dan panggilan. Rumah formatio tidak boleh menjadi rumah yang “menyeramkan”, sebaliknya harus menjadi “comfortable place” bagi formandi maupun formator.

Pada periode ini muncul keprihatinan terhadap jumlah calon imam. Penurunan jumlah calon imam KAS terasa tiga (3) tahun terakhir ini. Oleh karenanya Rektor membentuk perfek baru yaitu perfek panggilan dan pastoral dengan harapan ada gerak mencari panggilan baru di paroki-paroki dan bekerjasama dengan tim panggilan UNIO. Pada tahun kedua, romo Rektor menegaskan kualitas imam yang menjadi visi keuskupan (lihat visi misi) melalui tiga motto barunya yaitu dadi suluh, dadi sulur dan dadi suluk. Pembangunan kualitas ini mesti diperjuangkan secara personal dan komunal. Hidup imam sebagai terang, tempat bergayuh dan mempunyai swara yang bijak dan indah hanya akan terjadi jika di tempat pendidikan ini para calon imam mulai sungguh-sungguh mengusahakan dan menempatkannya sebagai terjemahan dari cita-cita atau visi pendidikan Seminari Tinggi.

Perjumpaan dengan umat dan kegiatan pastoral pun harus menjadi kesempatan untuk “kesaksian panggilan yang berciri tiga (hal) di atas”. Romo Rektor menegaskan bahwa kualitas imam tersebut hanya mungkin terjadi jika ada kedisiplinan untuk membangun hidup rohani yang kuat dan pribadi yang dewasa. Pada tahun ini Seminari Tinggi juga memperingati 50 tahun bertempat tinggal di Kentungan Sleman Yogyakarta. Pengenalan akan komisi-komisi yang ada di Keuskupan menjadi sarana untuk mencintai Keuskupan dan membangun passion serta mempersiapkan diri menjadi imam yang tanggap terhadap gerak langkah keuskupan. Imam keuskupan harus menjadi imam yang “sentire cum excclesia”. Pada periode ini Keuskupan Agung Jakarta tidak lagi mengirim frater-fraternya ke Kentungan karena ingin memperkuat Universitas Katolik Driyarkara. Sementara itu Keuskupan Agung Medan mengirim romo dan fraternya untuk tinggal di Kentungan dan studi di FTW dan keuskupan Purwokerto mengirim imamnya untuk menjadi staff Seminari Tinggi dan dosen di FTW.

Seminari Tinggi Menatap Masa Depan
Selama kurun waktu 82 tahun ini, dan 50 tahun Seminari Tinggi St. Paulus di Kentungan, Seminari Tinggi telah mengalami berbagai macam gerak dinamika proses pembinaan para calon imam. Dengan mewarisi dan merefleksikan sejarah peziarahan dalam mendidik para calon imam dari perspektif kebijakan rektor-rektor ini, Seminari Tinggi hendak menatap masa depan Gereja Indonesia yang mandiri. Cita-cita ini hendaknya selalu mengarahkan segenap umat beriman untuk mau terlibat aktif dalam mengembangkan Gereja dengan selalu menghidupkan dan mendukung panggilan imamat. Tongkat estafet pewartaan Injil bagi umat manusia di segala tempat dan segala zaman harus senantiasa diteruskan. Semoga dengan selalu belajar dan terbuka pada penyelenggaraan-Nya, pendidikan imam dapat memformat para calon imamnya untuk semakin menghayati imamatnya secara kontekstual dalam rangka menghadirkan Kristus, yakni kepenuhan Kerajaan Allah di sepanjang zaman.

“Visi imamat perlu dimiliki oleh para calon imam dan para pendamping. Dengan demikian, visi imamat ini menjadi nilai pokok pribadi para calon imam. Visi imamat ini tidak hanya bersifat intelektual tetapi juga spiritual, emosional, dan menyangkut perilaku pribadi dan sosial”. “Segenap warga seminari hendaknya meneladan semangat St. Paulus, Pelindung Seminari Tinggi, sehingga mutu kepribadian sebagai imam dan calon gembala umat sungguh didasarkan pada persaudaraan yang sejati, tulus dan iklas seperti layaknya Santo Paulus”. “Imam yang dibutuhkan pada masa kini dan masa yang akan datang adalah imam yang commited terhadap panggilannya. “Commited” berarti mau dengan rela menyerahkan diri kepada Allah yang memanggilnya karena tergerak akan cinta. Selain itu, seorang romo hendaknya memiliki semangat belajar, yaitu memiliki keinginan untuk berkembang dan diperkembangkan”. “Semangat untuk terlibat secara penuh dengan gerak keuskupan perlu senantiasa dimiliki oleh calon imam maupun imam diosesan. Untuk mewujudkannya, diperlukan pembinaan yang mengarahkan para calon imam untuk memiliki semangat taat asas, berkompeten (profesional), dan selalu terbuka terhadap on going formation imam-imam diosesan”. “Learning – Habit – Believe – Mission adalah suatu pola lingkaran kehidupan terus menerus dalam dinamika hidup sebagai calon imam yang sadar, peka, dan tanggungjawab terhadap panggilannya dan Gereja yang diabdinya”. “Rumah formatio tidak boleh menjadi rumah yang “menyeramkan”, sebaliknya harus menjadi “comfortable place” bagi formandi maupun formator. Maka, motto di tahun 2018 ini: Dadi Suluh, Dadi Sulur, lan Dadi Suluk mesti diperjuangkan secara personal dan komunal. Artinya, hidup imam sebagai terang, tempat bergayuh dan mempunyai swara yang bijak dan indah hanya akan terjadi, jika di tempat pendidikan ini para calon imam mulai sungguh-sungguh mengusahakan dan menempatkannya sebagai terjemahan dari cita-cita atau visi pendidikan Seminari Tinggi St. Paulus”.

 

11. Rm. Alexius Dwi Aryanto (1 Januari 2022 – sekarang)

Menjawab panggilan Tuhan dalam penghayatan imamat adalah wujud cinta kita kepada Allah yang telah lebih dahulu mencintai kita. Dia mencintai kita tanpa batas dan mencapai puncaknya dalam seluruh hidup Yesus Sang Imam Agung dan Gembala. Yesus Kristus menganugerahkan imamat kepada kita agar kita pun menjadi imam seperti Dia, yang penuh totalitas siap menjadi imam, nabi dan raja. Tritugas Yesus Kristus tersebut harus dihayati dalam pergumulan imamat sebagai suatu persembahan hidup bagi Allah dan Gereja. Oleh karena itu agar dapat mengemban tugas yang mulia itu dibutuhkan pribadi-pribadi yang tangguh, matang, berintegritas. Tidak hanya itu, untuk dapat menjalankan fungsi imamat secara utuh dibutuhkan pengetahuan dan kecakapan yang memadai, kehidupan rohani yang kuat dan mendalam serta ketrampilan-ketrampilan pastoral yang dapat dihandalkan. Maka dari itu para imam dan calon imam harus bisa “mbangun urip kang jejeg, bener, becik, cetho lan tumata” agar menjadi suri teladan bagi umat beriman.