Renungan Sabda: Markus 8:11-13 (Senin Biasa Pekan VI)

Facebook
WhatsApp
Email
[et_pb_section fb_built=”1″ _builder_version=”3.19.14″][et_pb_row _builder_version=”3.19.14″ background_size=”initial” background_position=”top_left” background_repeat=”repeat” custom_padding=”12px|0px|12px|13px|false|false”][et_pb_column type=”4_4″ _builder_version=”3.0.47″][et_pb_text _builder_version=”3.0.74″ background_size=”initial” background_position=”top_left” background_repeat=”repeat”]

Allah, bagai Orang Tua yang Baik

Doa Pembuka:

    Allah yang penuh kasih, kami bersyukur atas anugerah hidup ini. Kami ingin menemukan makna hidup itu dalam Engkau, maka anugerahkanlah kejernihan hati dan budi sehingga kami dapat menemukan kehendakMu melalui sabdamu hari ini yang ingin kami renungkan. Amin.

 

 

  

Renungan:

    Ada orang tua yang memegang nilai/“prinsip” bahwa bekerja itu untuk anak. Maksudnya, semua penghasilan kerjanya ditujukan untuk kebahagiaan anak. Ditambah lagi, orang tua tidak ingin anaknya mengalami “urip rekasa/menderita” karena serba kekurangan sebagaimana yang mereka alami sewaktu kecil. Maka, setiap kali anak meminta sesuatu, akan selalu menurutinya. Namun, orang tua yang baik akan memberikan yang anak minta sejauh itu baik bagi anak dan tidak menuruti keinginannya andai yang dimintanya itu tidak membawa si anak makin mencintai orang tuanya dan lebih-lebih membawa kebaikan bagi hidupnya. Sering kali, malah si anak diminta melakukan sesuatu yang tidak disukai demi pendisiplinan dirinya untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan. Dalam hal ini, orang tua harus “tega melihat anaknya menderita”, karena jika tidak dididik secara demikian, mentalnya melempem dan tidak akan “jadi orang”.

    Dalam bacaan Injil, nampaknya Yesus yang mengasihi semua orang, memperlakukan mereka khususnya orang Farisi, seperti orang tua kepada anak-anaknya. Motivasi orang Farisi dalam meminta tanda tidaklah murni. Seperti yang berkembang dalam dunia politik kita, sebaik apa pun seorang pemimpin, kalau telah memiliki rasa tidak suka terhadapnya, akan selalu mencari-cari kesalahannya. Perbuatan sebaik apa pun, tidak akan dipandang sebagai kebaikan. Saya rasa, Yesus pun juga melihat hal itu dalam diri orang Farisi sehingga sia-sia jika mukjizat diadakan bagi mereka. Mukjizat diadakan supaya orang makin beriman/percaya pada Allah. Bagi orang Farisi, itu tidak akan membuat mereka semakin dekat kepada Allah karena pada dasarnya, mereka telah menumpulkan hati dan tidak mau percaya.

    Dalam hidup, kita memiliki pengharapan/cita-cita untuk diperoleh. Semoga pengharapan itu memang berlandaskan motivasi baik, yaitu semakin membuat kita dekat dan mencintai Tuhan serta menumbuhkan kita sebagai pribadi yang makin matang. Mari mendoakannya, memohonkannya kepada Tuhan supaya menganugerahkannya dan dibarengi dengan bekerja keras untuk menggapainya. Namun, jika ada kalanya ketika doa dan kerja keras telah diupayakan secara maksimal, namun kita tidak kunjung memperolehnya, barangkali kita dapat bertanya pada Tuhan mengapa Dia tidak menganugerahkannya? Apakah memang kita belum pantas, misalnya andai dikabulkan, kita jadi sombong atau merasa semua itu karena kehebatan sendiri? Atau Tuhan memiliki pilihan lain yang lebih baik bagi kita namun belum kita lihat?

 

  

 

Doa Penutup:

    Bapa Mahamurah, kebijaksanaanMu mengatasi segalanya. PikiranMu bukan pikiranku, jalanku bukanlah jalanMu. Kami memohon hati yang bijaksana serta menyelaraskan keinginan kami dengan kehendakMu karena itulah yang terbaik bagi hidup kami supaya kami dapat semakin mengasihiMu, demi Kristus Tuhan kami. Amin.

(Fr. Agustinus Dwi Prasetyo, Tingkat I, Keuskupan Purwokerto)

[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][/et_pb_section]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *