Minggu, 24 September 2023
Minggu Biasa XXV
Renungan Sabda: Mat 20: 1-16a
Kebebasan Diri dan Tuhan
Fr. Feremenatos Oktafilio Adi Prasetya
Bulan-bulan belakangan diwarnai dengan tema-tema politik. Media sosial kita sudah dipenuhi dengan konten-konten politik. Sudah muncul berbagai pihak yang berharap dapat diterima sebagai pemangku jabatan negara periode selanjutnya. Yang selalu menarik dalam masa seperti ini adalah adanya kampanye. Setiap calon pemangku jabatan ramai-ramai bersolek, membubuhi diri dengan label tertentu, komitmen tertentu, pokoknya apapun yang membuat kebanyakan orang tertarik padanya. Kerapkali hiasan tersebut terlihat demikian ‘wah’, mengejutkan, namun sekaligus menarik hati karena ide-ide luar biasa untuk menyejahterakan masyarakat. Pendek kata, mereka melakukan apa saja, asal bisa disenangi masyarakat.
Ingin disukai adalah kecenderungan natural semua orang. Entah secara terang-terangan maupun tidak, kecenderungan ini muncul pada siapa saja. Saya kebetulan melihat hal ini ketika pada tahun lalu bertugas di paroki. Anak-anak SD biasa melakukan kenakalan tertentu, entah ramai di kelas, berantem dengan temannya, nglendoti frater atau guru demi mencari perhatian mereka. Anak SMP dan SMA mencari perhatian dengan memperbaiki penampilan dan meng-upload foto diri di media sosial, supaya banyak teman yang tertarik padanya. Orang dewasa yang bekerja, barangkali juga secara tidak sadar berusaha berprestasi, demi menambah perhatian orang lain terhadapnya. Demikian orang ingin diperhatikan dan dicintai, dan hal itu baik-baik saja -bahkan perlu.
Pada sisi yang berlawanan, justru keinginan untuk disukailah yang membatasi kita menjadi apa adanya. Segala pilihan kita seakan dibatasi oleh tanggung jawab untuk ‘menjadi baik’ di mata orang lain. Apakah ini merupakan tanggung jawab, atau sekedar ketakutan diri yang berlebihan? Apakah ‘menutup diri’ memang merupakan olah diri yang bernilai, atau sudah berubah menjadi ketakutan yang mematikan diri? Bila ke-sejati-an diri malah anda matikan, bukankah anda justru mematikan rancangan Tuhan sendiri dalam hidup anda? Tuhan menghendaki kejujuran dan keterbukaan anda.
Satu lagi permenungan yang ingin saya tawarkan adalah mengenai kemahakuasaan Allah. Bacaan Injil hari ini memperlihatkan betapa Allah ‘ditentang’ oleh orang yang merasa bekerja lebih lama. Dalam bahasa kita sekarang, terdapat orang-orang yang bekerja lebih keras, berdoa lebih keras, berjuang lebih keras. Mereka merasa bahwa karena usahanya yang demikian keras, ia patut mendapat imbalan yang jauh lebih besar. Dari segi usaha, orang-orang seperti ini patut diacungi jempol, namun tidak demikian dari segi kerendahan hati. Orang yang rendah hati tidak bekerja dan berdoa sekedar demi imbalan. Mereka bekerja dan berdoa dengan tulus, namun menyerahkan segenap hasilnya pada Allah. Mereka tahu dan sadar betul, yang diberikan Allah bukanlah sebesar apa yang kita inginkan, atau bahkan perjuangkan. Apa yang diberikan Allah adalah upah sedinar sehari: secukupnya untuk hidup. Mereka yang kikir dan memperhatikan dirinya sendiri akan merasa bahwa satu dinar sehari itu kurang, tidak sepadan, bahkan tidak adil. Hanya orang yang rendah hati dan mau bersyukurlah yang dapat melihat sedinar itu sebagai rahmat yang cukup: tidak lebih, namun juga tidak akan kurang bagi pemeliharaan hidup kita. Hanya merekalah orang yang pantas mengucapkan dalam doa setiap hari: berilah kami rezeki pada hari ini.