Belajar Dari Spirit Santo Paulus
Jika anda berkunjung ke Seminari Tinggi St Paulus Kentungan Yogyakarta anda akan melihat patung sang pelindung Seminari Tinggi yaitu patung St. Paulus. Patung tersebut berdiri persis di depan Kapel St. Paulus yang juga menjadi tempat penerimaan sakramen tahbisan bagi para imam projo di Keuskupan Agung Semarang. Dan bahkan bentuk patung ini dijadikan sebagai lambang Seminari Tinggi Kentungan, maka tidak mengherankan jika mereka yang sudah familiar dengan Seminari Tinggi Kentungan melihat gambar patung St. Paulus ini akan otomatis mengidentifikasikan dengan Seminari Tinggi. Namun hal yang cukup menarik adalah memperhatikan bentuk patung ini yang terkesan tidak begitu rapi sebagai sebuah karya seni. Ada berbagai versi mengenai bentuk patung ini terutama jika berbicara pemaknaan mengenai bentuknya. Memang belum ada penjelasan yang pasti mengenai maksud dibuatnya patung ini dengan bentuk yang demikian. Namun kali ini saya ingin membagikan satu versi yang menurut saya tepat dan pas untuk memaknai bentuk patung St. Paulus sehingga bisa menggambarkan kehidupan para frater di Seminari Tinggi dan bahkan dalam konteks tertentu juga bisa menggambarkan kehidupan umat di masyarakat pada umumnya.
Jika berbicara menenai tokoh Paulus memang akan memunculnya suatu pergulatan yang luar biasa dalam dunia kekristenan. Bahkan bisa dikatakan bahwa tokoh utama yang memungkinan iman akan Yesus Kristus “keluar” dari konteks Yahudi adalah Paulus. Pengalaman yang luar biasa terjadi saat ia menuju Damsyik untuk menganiaya jemaat Yahudi yang sudah mengimani Yesus Kristus sebagai juru selamat. Dalam perjalanan itu ia mengalami pengalaman bertemu dengan Yesus yang menampakan diri dalam wujud cahaya yang sangat terang hingga membuat mata Paulus menjadi silau dan bahkan buta. Di sinilah Paulus mengalami pengalaman akan Allah yang luar biasa, namun perlu diingat bahwa setelah mengalami pengalaman itu Paulus yang masih bernama Saulus ini mengalami ketidak-berdayaan yang luar biasa. Dalam Kis 9:9 diceritakan ia menjadi buta dan tidak makan-minum selama 3 (tiga) hari dan selama mengalami ketidak-berdayaan ini Saulus tinggal di Damsyik. Namun justru dari pengalaman inilah Saulus menjadi militan dan bahkan menjadi salah satu Rasul Yesus Kristus yang mewartakan keselamatan terutama bagi jemaat non-Yahudi.
Satu versi yang saya sebutkan tadi ialah memaknai patung St. Paulus sebagai Saulus yang sedang mengalami ketidak-berdayaan setelah mengalami pengalaman akan Allah yang luar biasa. Pengalaman itu sangat merubah Paulus yang tadinya membenci dan bahkan ikut menganiaya jemaat Yesus Kristus menjadi seorang Rasul yang dipilih Allah sendiri untuk ikut terlibat dalam karya keselamatan Yesus Kristus. Pengalaman ketidak-berdayaan St. Paulus ini seolah-olah menggambarkan perjalanan para frater (setidak-tidaknya saya sendiri) dalam menjawab panggilah Allah untuk terlibat dalam karya keselamatan Yesus Kristus. Saya merefleksikan dengan melihat Seminari Tinggi ini sebagai “Damsyik” bagi saya, di mana saya tidak jarang mengalami ketidak-berdayaan setelah Yesus memilih saya. Ketika Saulus belum masuk ke Damsyik, ia melihat cahaya Kristus yang begitu menyilaukan dan ia menyadari bahwa cahaya itu merupakan tanda keterpilihannya untuk menjadi Rasul Yesus Kristus. Demikian pula dengan para frater yang tinggal di Seminari Tinggi, sebelum masuk mereka pasti juga mengalami cahaya Kristus secara personal yang menjadikan mereka terpilih untuk terlibat dalam karya kerasulan menjadi imam. Cahaya ini bisa berwujud bermacam-macam seperti pengalaman melihat kehidupan imam yang baik, pengalaman disapa oleh imam, pengalaman dengan orang tua yang mendukung untuk menjadi imam dll, yang pada intinya pengalaman itu bisa membawa satu pribadi untuk merasa terpanggil pada jalan imamat.
Jika kembali pada pengalaman Saulus, ternyata perlu disadari bahwa ada konsekuensi yang harus ditanggung olehnya ketika mengatakan “ya” pada panggilan Allah. Konsekuensi itu berupa ketidak-berdayaan yang luar biasa yang harus dialaminya selama di Damsyik. Dalam ketidak-berdayaan itu Allah benar-benar merubah pribadi Saulus yang tadinya merasa kuat entah karena statusnya atau karena pribadinya. Perlu diingat bahwa saat itu Saulus adalah pribadi yang ikut menyetujui hukuman rajam terhadap Stefanus (bdk Kis 8:1) dan ia juga punya akses untuk menemui imam besar untuk meminta surat kuasa menghukum jemaat Yesus di Damsyik (bdk Kis 9:2), hal ini sebenarnya menandakan bahwa secara sosial Saulus tidak bisa digolongkan sebagai orang sembarangan. Dan secara kepribadian, Saulus adalah orang yang dididik secara ketat dalam asuhan guru Yahudi yang cukup terkenal saat itu yaitu Gamaliel (Kis 5:34 ; Kis 22:34). Dari hal ini dapat kita rasakan bahwa perubahan Paulus adalah perubahan yang tidak mudah. Ternyata pengalaman ketidak-berdayaan di Damsyik merubah Paulus menjadi pribadi yang berpasrah penuh pada kehendak Allah dalam dirinya. Ia berani meninggalkan posisinya sebagai orang yang punya kuasa dan berani meninggalkan prinsip hidupnya yang dipegang selama ini. Ia berani meninggalkan semua itu dan mulai mengosongkan diri menjadi manusia yang tidak berdaya. Namun justru dari pengosongan diri itu Allah berkenan masuk untuk mengisi kekosongan itu dan mengisi ketidak-berdayaannya dengan daya Ilahi yang luar biasa sehingga memampukannya untuk menjadi Rasul Yesus Kristus. Kiranya pengalaman inilah yang juga dialami oleh para frater selama menempuh pendidikan di Seminari Tinggi.
Hal yang bisa kita teladani dari pengalaman Paulus di Damsyik adalah karya Allah yang merubah suatu pribadi justru dari pengalaman ketidak-berdayaan. Dari pengalaman ketidak-berdayaan inilah Paulus justru bisa menjatuhkan diri pada kehendak Allah dan membiarkan diri diisi sepenuhnya dengan daya Ilahi yang luar biasa. Maka untuk mengalami ini, saya pribadi merasa “harus” mengalami pengalaman ketidak-berdayaan agar mampu mengosongkan diri. Kata “harus” ini tidak dipahami sebagai upaya untuk mencari-cari tetapi lebih pada upaya untuk menerima diri sepenuhnya. Jika merasakan dinamika hidup, terkadang kita takut untuk megalami “ketidak-berdayaan” dengan menolak mengakui dan menerima kenyataan bahwa kita sebenarnya lemah dan butuh diteguhkan. Maka tidak jarang ada orang (atau kita sendiri) yang terlihat tertawa tapi sebenarnya dalam hati menangis, terlihat kuat tapi sebenarnya menutupi kelemahan diri sehingga yang kita lakukan itu menjadi tindakan yang tidak tepat dan tidak benar. Hal ini sangat jelas terlihat pada dinamika bully, para pelaku bully ternyata adalah pribadi yang mengalami pengalaman tidak diterima, tidak diakui, tidak dianggap dan bahkan tidak jarang mereka adalah korban bullying itu sendiri. Mereka menolak untuk mengakui bahwa mereka butuh dihibur, dilindungi atau diteguhkan dan lebih memilih menutupi ketidak-berdayaan itu dengan menjadi pribadi yang terlihat kuat dengan mem-bully.
Dalam hal ini saya sebagai frater ditantang untuk masuk secara mendalam untuk mengalami ketidak-berdayaan. Salah satu langkahnya adalah menerima diri sepenuhnya terutama dari sisi kekurangan yang disebabkan oleh pengalaman masa lalu. Bagaimana pun juga perlu diakui bahwa setiap pribadi pasti mengalami pengalaman ditolak, tidak dianggap, tidak diakui dll yang akan membawa pada ketidak-berdayaan. Mungkin hal itu akan membuat kita tidak nyaman karena kita menyadari ada kelemahan dalam diri kita. Begitu juga para frater yang ada di Seminari Tinggi, proses penerimaan diri menjadi salah satu proses yang sulit diterima.
Pengalaman yang menimbulkan luka itu harus diolah sebelum luka itu melukai orang lain. Tetapi untuk menyembuhkan itu perlu penerimaan bahwa “ya saya terluka” dan inilah pengalaman ketidak-berdayaan itu. orang yang sakit tidak akan bisa diobati jika ia tidak pernah mengakui bahwa ia sakit. Tetapi dengan mengakui bahwa “ya saya sakit/terluka dan butuh peneguhan” perlu disadari bahwa sebenarnya kita takut untuk masuk dalam pengalaman ketidak-berdayaan dan merasa lebih nyaman untuk menutupi ketidak-berdayaan itu dengan terlihat seolah-olah kuat di depan orang lain. Tapi perlu disadari pula bahwa hal itu justru akan semakin melemahkan pribadi kita. Maka kita perlu belajar dari St. Paulus untuk menerima diri sepenuhnya baik dari sisi kekuatan dan terutama menerima dari sisi kelemahan dan dengan berlapang dada mengakui “ya saya lemah dan butuh diteguhkan”. Maka dalam konteks ini, saya pun ditantang untuk mengakui kelemahan saya yang selalu tertutupi dengan sikap saya yang terlihat kuat.
Membiarkan diri untuk jatuh dalam pelukan kasih Allah melalui orang lain
Lalu pertanyaannya adalah apa yang harus saya lakukan setelah menerima diri sepenuhnya dan menyadari bahwa ada sisi lemah dalam diri saya? hal ini merupakan sesuatu yang tidak mudah karena dengan adanya kesadaran diri mengenai kelemahan akan semakin membawa saya pada ketidak-berdayaan, dan hal ini harus segera diselesaikan! Begitu pula dengan Paulus yang juga mengalami ketidak-berdayaan yang luar biasa, ia membiarkan diri sepenuhnya pada rencana Allah dan dengan kesendiriannya ia semakin masuk dalam ketidak-berdayaan karena ia tahu dan mau menerima bahwa dengan kekuatannya sendiri ia tidak akan bisa keluar dari ketidak-berdayaan itu. Saya merenungkan inilah kuncinya! Yaitu membiarkan diti larut dalam rencana Allah dengan menyingkirkan bayangan kekuatan diri untuk melangkah keluar dari ketidak-berdayaan itu.
Dikisahkan dalam Kisah Para Rasul bahwa Ananias seorang pengikut Yesus Kristus diutus oleh kehendak Tuhan sendiri untuk menemui Saulus dan menumpangkan tangan atasnya supaya ia disembuhkan (bdk Kis 9:10-17). Jika dibayangkan dalam konteks kehidupan saya, saya merasa bahwa hal ini bukanlah suatu hal yang mudah. Kita tahu bahwa Saulus adalah seorang yang sangat membenci para pengikut Yesus padahal Ananias adalah salah satunya. Saya bertanya, bagaimana bisa Saulus sang promotor penganiaya jemaat Kristus bisa membiarkan diri untuk disembuhkan oleh Ananias yang adalah jemaat Kristus? Secara manusiawi, apa yang dirasakan Saulus ketika ada orang yang tidak dikenalnya dan bahkan dibencinya datang dengan segala kerendahan hati untuk menyembuhkannya atas kehendak Tuhan? Menurut saya, bahwa disinalah poin terpentingnya. Ketika Saulus sampai pada pengakuan “ya, kamu lebih baik daripada saya” kepada orang sangat dibencinya, ia mengalami kesembuhan rohani yang luar biasa.
Dengan demikian, Saulus justru dengan sepenuh hati menerima Ananias untuk menumpangkan tangannya sehingga ia sembuh. Perang batin yang saya rasakan dalam diri Saulus saat itu adalah adanya usaha yang sangat keras dari Saulus untuk melepaskan keegoisan dan kesombongan diri yang membuat dia merasa hebat sehingga ia benar-benar sampai pada kesembuhan sejati. Saulus tidak lagi merasa hebat dan ia menyadari bahwa ia memerlukan orang lain, sealain itu ia juga menyadari bahwa rahmat Allah itu bisa datang kepada siapa saja bahkan dari orang yang sangat dibencinya. Dan rahmat itu bisa diterima secara total olehnya hanya ketika ia benar-benar membiarkan diri menerima bahwa Ananias memang dipilih Allah untuk menyembuhkannya. Saya pun merasa bahwa kesembuhan ini bukan saja kesembuhan dari kebutaan namun juga kesembuhan rohani yang luar biasa. Kesembuhan ini ditandai dengan kemauan diri Saulus untuk menganggap orang lain lebih hebat sehingga ia bisa jatuh dalam cinta Allah yang menyembuhkan. Tentunya hal ini bukan mengarahkan Saulus pada keputusasaan karena perasan rendah diri, melainkan karena Saulus sudah sampai pada pengalaman rendah hati menerima orang lain.
Dalam konteks kehidupan saya di Seminari, saya merasa ada bentuk lain dari Ananias dalam komunitas saya. Ananias itu ada dalam diri teman, sahabat, para romo yang setia mendampingi dan umat yang selalu mendoakan. Maka jika belajar dari Saulus saya harus bisa menanggalkan keegoisan saya dengan mengakui bahwa para Ananias yang mendampingi saya adalah orang-orang yang lebih baik daripada saya yang dipilih oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya untuk menjatuhkan saya pada cinta-Nya yang menyembuhkan. Hal ini membuat saya menjadi lebih positif untuk menerima kritik dan masukan yang membangun dan meyembuhkan.
Saya membayangkan jika saya belum bisa menanggalkan keegoisan saya, maka kritik dan masukan dari para Ananias yang ada di sekililing saya hanya akan menjadi luka yang akan membuat saya semakin tidak berdaya, dan saya tidak mau menjadi semakin lemah! Teguran dan nasihat adalah cara yang digunakan Allah untuk membentuk pribadi saya seperti halnya yang dilakukan-Nya pada Saulus. Saya hanya perlu membiarkan hal itu dan menyadari ketidak-berdayaan saya sehingga bisa lebih positif menerima kritik dengan memandangnya sebagai karya Allah untuk mencintai saya. Dengan kata lain, kritik dan nasehat akan menjadi hal yang membangun jika diterima dengan rendah hati (bukan rendah diri). Memang perlu diakui bahwa tidak semua kritik dan masukan itu relevan dengan saya bahkan bisa jadi seolah-olah menjadi tuduhan bagi saya atas tindakan yang tidak pernah saya lakukan. Tapi meskipun demikian apa salahnya jika saya tetap menganggap itu sebagai cinta Allah yang ingin mengajari saya tentang kebahagiaan dan kesabaran. Banyak teori psikologi yang juga mengatakan bahwa lebih baik hidup dalam positive thingking daripada melarutkan diri pada negative thingking. Setidak-tidaknya saya tahu bahwa saya harus bersyukur dan bisa lepas bebas dari suasana positive atau pun negative. Hal ini membuat relasi saya tetap baik dengan Allah karena tidak tergantung pada suasana yang positive atau negative.
Inilah refleksi patung Paulus yang bagi saya sangat menggambarkan kehidupan para frater yang sedang membiarkan diri dicintai Allah melalui formation caloin imam. Saya kira, pengalamam Paulus di Damsyik juga menjadi pengalaman dari semua orang (tidak hanya di Seminari). Pengalaman ketidak-berdayaan ini bagi orang yang terpanggil justru akan menjadi pengalaman yang menguatkan dan membentuk pribadi menjadi lebih baik sesuai dengan kehendak Allah. Kuncinya adalah positive thinking dan belajar mempunyai rasa dicintai dalam keadaan apa pun.
(Fr. Adhi Jati, Tingkat III, KAS)