Sejarah Perkembangan Seminari
Kehadiran Seminari Tinggi St. Paulus merupakan berkat kepedulian Mgr. Petrus Willekens SJ, Vikaris Apostolik Batavia (1933-1952), untuk mengakarkan warta Injil Yesus Kristus dalam Gereja Indonesia. Pada tahun 1936, ia merintis berdirinya Seminari Tinggi untuk para calon imam diosesan dengan bertempat di kompleks misi Muntilan. Dua puluh lima tahun sebelumnya, tahun 1911, Mgr. Antonius van Velsen (Vikaris Apostolik Batavia II) telah mendirikan Seminari Menengah di Muntilan demi pengembangan jumlah imam pribumi. Visinya adalah untuk membangun Gereja pribumi atau Gereja lokal yang mandiri dan kokoh. Tanggal 15 Agustus 1936 ditetapkan sebagai hari berdirinya Seminari Tinggi St. Paulus. Karena situasi politik tidak menentu, ditandai dengan suasana perang dan penindasan, seminari mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Tanggal 3 September 1938, pendidikan Seminari Tinggi diselenggarakan di Mertoyudan. Pada bulan Januari 1941, seminari berpindah ke Jl. Code Yogyakarta. Kemudian 24 Januari 1942, berpindah ke Girisonta. Tiga hari kemudian, 27 Januari 1942, proses pendidikan dipindahkan ke kompleks novisiat Suster-suster CB (Jalan Colombo 19 Yogyakarta). Tanggal 29 Juli 1944, Seminari Tinggi pindah ke kompleks asrama Boedi Oetomo, Sindunegaran Yogyakarta. Pada tanggal 10 Desember 1945, Seminari pindah ke kolose St. Ignatius Yogyakarta kemudian pindah ke Jl. Code pada tanggal 20 Agustus 1952. Akhirnya, pada tanggal 6 Januari 1968, Seminari Tinggi St. Paulus menempati lahan yang luas di Kayen, Kentungan, Yogyakarta. Pada zaman penjajahan Jepang, Seminari pernah ditutup oleh pemerintah Jepang. Para calon imam pada waktu itu kemudian dititipkan di paroki-paroki untuk nyantrik sambil belajar teologi serta pastoral dengan para Romo Paroki.
Pada tahun 1936, ada lima calon pertama yang memulai pendidikan mereka di Seminari Tinggi Muntilan dan disusul angkatan-angkatan berikutnya di tahun-tahun kemudian. Kota Muntilan mempunyai makna historis yang mendalam bagi pendidikan calon imam dan Gereja Indonesia. Pada tahun 1942, empat calon imam dioesean pertama kali ditahbiskan menjadi imam di Gereja St. Yusup Bintaran Yogyakarta. Keempat calon imam tersebut ditahbiskan oleh Mgr. Albertus Segijapranata, SJ yang sejak tahun 1940 telah diangkat menjadi Vikaris Apostolik Semarang. Mereka adalah Rm. Aloysius Purwahadihardja (Keuskupan Agung Semarang), Rm. Hubertus Voogdt (Keuskupan Padang), Rm. Simon dan Rm. Vincensius Lengkong yang keduanya untuk Keuskupan Manado. Sampai dengan tahun 1968, tercatat ada tujuh puluh dua imam diosesan dari sepuluh Keuskupan (54 Imam Keuskupan Agung Semarang, 3 imam Keuskupan Manado, 4 imam Keuskupan Surabaya, 1 imam Keuskupan Amboina, 1 imam Keuskupan Agung Makasar, 2 imam Keuskupan Bandung, 2 imam Keuskupan Purwokerto, 3 imam Keuskupan Malang, 1 imam Keuskupan Agung Jakarta, dan 1 imam Keuskupan Tanjungkarang. Tahun-tahun berikutnya calon-calon dari Keuskupan Weetebula, Larantuka, Sintang, Sumba, Denpasar, Pangkalpinang, Sanggau, Ketapang, Padang, Atambua, Sorong Manokwari, Medan Merauke, Sibolga, Palembang, Ruteng, Jayapura dan Timika, bahkan OCSO, OMI, dan CSsR juga sempat dikirim untuk menjalani pendidikan di Seminari Tinggi St. Paulus. Dalam konteks historis dan tradisi inilah, Lembaga pendidikan calon imam Seminari Tinggi St. Paulus menempatkan visi, misi dan proses pembinaannya.
(Sumber: disarikan dari Pedoman Pendidikan Calon Imam Diosesan, 2017, hlm.13-19).