Siapa bilang berbeda itu menakutkan? Berbeda suku, ras, karakter, bahkan juga agama adalah sebuah keniscayaan dan layak dirayakan. Namun, patut ditakutkan bila segelintir orang ingin menciderai keberagaman dengan mengkotak-kotakkan bahkan menyeragamkan anugerah perbedaan. Itulah racikan simfoni kesadaran yang mengalir dari proses mencipta harmoni dalam kelompok paduan suara Interfaith Voice. Dengan berbagai latar belakang agama yang berbeda-beda, paduan suara ini berdiri sejak 27 Mei 2018 oleh Pdt. Elga Sarapung. Misinya pun sederhana: menyuarakan indahnya keberagaman lewat bernyanyi dan bermusik kepada masyarakat. Dialog budaya dan seni inilah yang ditempuh sebagai sarana untuk srawung menjalin persaudaraan lintas iman di tengah ancaman radikalisme agama, terorisme, ujaran kebencian, dan berita-berita palsu (hoax).
Seni sebagai Ekspresi Refleksi Iman
“Kita tidak hanya datang lalu tampil sebagai performer. Tapi datang sebagai pembawa pesan kalau berbeda-beda itu indah”, ujar Mas Ryo Emanuel, pelatih paduan suara Interfaith Voice. Hal itu nyata ketika menikmati lantunan lagu Deen Assalam dan sajian medley lagu-lagu rohani dari berbagai versi: Zikir Taubat (Islam), O Namo Buddhaya (Buddha), Om Namah Siwa Ya (Hindu), El Senyor – Dalam Tuhan Aku bersyukur (Taize – Kristen/Katolik), dan Hevenu Shalom Alechem – Kubawa Damai. Lagu-lagu itu dibawakan dalam perayaan ulang tahun ke-68 Gerakan Pemuda Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) se-Indonesia di hall Rich Hotel Yogyakarta pada Sabtu, 25 Agustus 2018. “Saya terharu banget merasakan antusiasme semua audiens yang bertepuk tangan sambil berdiri saat menyambut kita”, ungkap Sulis, Mahasiswi UIN Sastra Inggris, anggota paduan suara Interfaith Voice. Senada pula yang dikisahkan oleh Frater Tian, Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan ketika berada di backstage sesudah tampil, “Saya baru pertama kali srawung seperti ini. Rasanya terharu dan bahagia sekali. Seperti sudah jadi keluarga saya sendiri”. Uniknya, selain anggotanya berasal dari berbagai agama, tiap kali sesudah tampil, kelompok paduan suara ini menyediakan waktu untuk refleksi bersama heart to heart. Betapa harmoni itu bisa tercipta tidak hanya lewat ekspresi bernyanyi, tetapi juga refleksi iman personal heart to heart.
Srawung Sejak Dalam Suara Hati
Momen tirakatan, Kamis, 16 Agustus 2018, peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 juga mengusik suara hati kelompok Interfaith Voice untuk berefleksi dan berekspresi. Bersama seluruh warga komunitas Seminari Tinggi St. Paulus, mereka menyuguhkan nyanyian syukur lagu-lagu kebangsaan yang diramu dengan kekayaan religius. Bertempat di kompleks Batalyon Infanteri 403/Wirasada Pratista, seluruh peserta merenungkan kilas sejarah perjuangan Brigjen TNI (Anumerta) Katamso Darmokusumo dan Kolonel Inf (Anumerta) Sugiono. “Malam tirakatan ini menjadi kesempatan untuk anamnesis. Penyegaran ingatan dan semangat para pahlawan yang bertaruh hidup untuk bangsa dan tanah airnya”, ungkap Frater Bona, Seminari Tinggi St. Paulus, yang juga anggota Interfaith Voice. Lewat kidung-kidung pujian yang dilantunkan, kemerdekaan sebagai anugerah itu mengusik suara hati: bagaimana sekarang ini tetap bisa dihadirkan spirit-nya untuk menepis gempuran pemecah kesatuan? Srawung sejak dalam suara hati itulah salah satu jalannya. “Seni itu juga sarana olah suara hati dan ekspresi kemerdekaan, juga kebenaran dari dalam. Maka, seni yang berasal dari kedalaman suara hati pasti memikat, membuat nagih, dan selalu dinanti”, refleksi dari Frater Rendy, salah satu anggota pemusik Interfaith Voice.
Ekspresi kemerdekaan menyuarakan kebenaran dari suara hati itulah yang menjadi roh awal/spirit dasar terbentuknya kelompok Interfaith Voice tersebut. Dimulai dari pengalaman mengisi perayaan ibadah Oikumene GPIB Marga Mulya Yogyakarta pada Minggu, 27 Mei 2018 kelompok paduan suara ini mencoba tetap eksis dan bergerak menyuarakan simfoni-simfoni nada keberagaman yang bisa dirajut dengan indah, tanpa syak wasangka. Itulah mengapa pentingnya proses refleksi, mawas diri dan wawan-hati tiap kali berlatih, ketika tampil, dan sesudah tampil. “Di dalam tiap aktivitas dan ekspresi seni bernyanyi, kita membawa nama Tuhan yang kita imani. Meski dengan berbagai macam cara, tapi toh tujuannya tetap sama”, kata-kata pamungkas Mas Ryo dalam suatu sesi latihan bersama menyiapkan penampilan. Semoga hadirnya kelompok-kelompok lintas iman ini juga menginspirasi dan menjamur di tengah keberagamaan suku, budaya, agama, ras, etnis di tanah air Indonesia.
(Fr. Fikalis Rendy Aktor, Tingkat VI, KPwkt)